Maraknya berbagai program pendampingan dan pembinaan yang diberikan kepada para pelaku UMKM, utamanya yang pendanaannya berbasis pada instansi dan lembaga pemerintahan, BUMN dan perusahaan swasta, tentunya harus disambut dengan penuh suka cita. Ini menandakan bahwa pihak penyedia anggaran memiliki keinginan untuk mengembangkan kapasitas usaha para pelaku UMKM sehingga diharapkan ke depan usahanya semakin berkembang, mampu mandiri dan mengangkat UMKM yang lain.

Tetapi, dalam pelaksanaannya seringkali program-program pendampingan dan pembinaan UMKM ini tidak berjalan sesuai harapan. Di satu sisi, pihak penyedia anggaran tidak bisa mengeksekusi program secara mandiri dikarenakan keterbatasan kewenangan dan pendampingan UMKM memang bukan bidang kerjanya. Misalnya, Dinas Koperasi & UMKM tidak diperbolehkan melakukan pendampingan UMKM secara langsung karena tugas pokok dan fungsinya adalah sebagai tata kelola kebijakan. Atau perbankan yang tidak bisa mengeksekusi program pendampingan UMKM dikarenakan tidak berkaitan dengan bisnis intinya.

Sehingga biasanya program pendampingan UMKM ini diserahkan ke pihak lain yang ditugaskan secara khusus untuk menjalankan program pendampingan UMKM ini. Di sisi lain, tidak semua petugas yang menjalankan pendampingan UMKM ini memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menjalankan tugas-tugas pendampingan yang tidak sedikit (baca: Pendamping UMKM: Akademisi Atau Praktisi?). Jika terjadi demikian, maka program pendampingan yang sudah direncanakan dengan baik tentu saja akan berjalan di tempat bahkan ada kemungkinan tidak berlanjut dan tidak mencapai target yang diharapkan.

Penyebab pendampingan UMKM jalan di tempat, beberapa di antaranya adalah:

1. Pendamping tidak memiliki pengetahuan di bidang pendampingan UMKM
2. Pendamping tidak memiliki program pendampingan yang terarah dan terstruktur
3. Pendamping tidak memiliki akses ke komunitas UMKM
4. Pendamping tidak memiliki akses ke stakeholder terkait
5. Pendamping tidak memiliki komitmen sebagai pendamping UMKM

 

1. Pendamping tidak memiliki pengetahuan di bidang pendampingan UMKM
Banyak pengetahuan yang harus dikuasai oleh pendamping UMKM dalam menjalankan program pendampingan. Mengingat permasalahan yang harus dihadapi dan dibenahi dari masing-masing pelaku UMKM ini terbilang kompleks dan membutuhkan solusi yang spesifik. Di satu sisi, pendamping UMKM harus bisa membenahi kondisi usaha si pelaku UMKM, mungkin dalam hal produksi, kemasan, pencatatan keuangan, pemasaran, dan sebagainya. Di sini diperlukan pengetahuan dasar yang luas tentang identifikasi kebutuhan pendampingan, manajemen produksi, manajemen pemasaran, strategi pemasaran online dan sebagainya.
Di sisi lain, seorang pendamping UMKM juga dituntut untuk bisa memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi dampingannya dengan cara menghubungkan ke pihak-pihak yang bisa membantu peningkatan kapasitas usaha. Bisa jadi menghubungkan dengan perbankan untuk masalah permodalan, memberikan informasi terkait pelatihan-pelatihan yang bisa diikuti dan berbagai solusi lainnya.

2. Pendamping tidak memiliki program pendampingan yang terarah dan terstruktur
Pendampingan terhadap UMKM tentu saja tidak bisa sekali jadi dalam waktu singkat. Sangat mungkin pendampingan ini memerlukan tahapan-tahapan sesuai kebutuhan dampingan. Maka, seorang pendamping UMKM harus bisa membuat program pendampingan yang terarah dan terstruktur disertai capaian-capaian target yang ingin dicapai. Misalnya, untuk perbaikan proses produksi yang memerlukan tambahan peralatan tertentu untuk meningkatkan volume produksi, maka seorang pendamping UMKM bisa menyarankan peralatan yang dibutuhkan sekaligus solusi permodalannya beserta target peningkatan produksi yang diinginkan. Tanpa program yang terarah dan terstuktur, pendampingan hanya akan berputar-putar tanpa arah capaian yang jelas. Contoh program pendampingan bisa dibaca di: Pendampingan Digital Marketing Untuk UMKM

3. Pendamping tidak memiliki akses ke komunitas UMKM
Seringkali penyedia anggaran program kebingungan harus memulai pendampingan dari mana karena bisnis intinya tidak pernah bersinggungan dengan UMKM. Jika pendamping UMKM yang ditunjuk sebagai pelaksana program juga tidak memiliki akses ke komunitas-komunitas UMKM, maka tentu akan terjadi kebuntuan program. Padahal saat ini sedang marak pertumbuhan komunitas UMKM di berbagai daerah. Untuk itu, pendamping UMKM harus memahami bahwa komunitas UMKM merupakan salah satu asset yang harus dimiliki dalam menjalankan tugas.

4. Pendamping tidak memiliki akses ke stakeholder terkait
Setelah memiliki akses ke komunitas UMKM, asset yang tidak kalah penting harus dimiliki seorang pendamping UMKM adalah akses ke berbagai stakeholder yang terkait dengan pengembangan UMKM. Dalam hal ini bisa terkait akses permodalan ke perbankan, akses pemasaran (pameran, lomba bisnis, dan lain-lain), atau bahkan akses dengan sesama pendamping UMKM lainnya sehingga terjadi percepatan transfer informasi dan pengetahuan.

5. Pendamping tidak memiliki komitmen sebagai pendamping UMKM
Hambatan yang paling berat yang menyebabkan program pendampingan jalan di tempat adalah jika seorang pendamping UMKM tidak memiliki komitmen sebagai pendamping UMKM. Dalam arti, mindset sebagai pendamping UMKM belum tertanam kuat dalam pikirannya. Mengapa bisa demikian? Bisa jadi karena adanya peluang untuk program pendampingan yang akan dijalankan, sehingga seseorang mencoba-coba untuk mengajukan diri. Atau bisa jadi dia memiliki pekerjaan utama di luar pendampingan dan melakukan pendampingan sebagai sambilan. Jika terjadi demikian, maka profesi pendamping UMKM bukan prioritas yang akan dengan mudah ditinggalkan jika ada pekerjaan yang dianggap lebih utama.

Mengapa Pendampingan UMKM Jalan Di Tempat?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial
Instagram